PERKARA YANG MEMBATALKAN SOLATSembahyang akan terbatal apabila seseorang yang bersembahyang melakukan salah satu daripada perkara-perkara berikut: 1. Percakapan yang disengajakan selain Al-Qur’an, zikir dan doa. Percakapan yang membatalkan itu sekurang-kurangnya terdiri daripada dua huruf atau lebih sekalipun tidak difahami maknanya. Begitu juga jika hanya satu huruf tetapi difahami maknanya. 2. Melakukan perbuatan atau pergerakan luaran yang banyak (lebih tiga kali) dan berurutan.
3. Gugur salah satu daripada syarat-syarat sembahyang. Antaranya:
a) Berlaku hadath sama ada kecil atau besar sebelum salam pertama secara sengaja atau tidak kecuali hadath yang berterusan seperti seorang yang berpenyakit buasir serius.4. Berlaku kepincangan pada salah satu rukun sembahyang seperti dalam keadaan berikut:
b) Terkena najis yang tidak dimaafkan sama ada pada badan, pakaian atau tempat sembahyang tanpa sempat dibuang atau dielakkan serta merta sebelum berlalu tempoh tama’ninah yang paling minima.
c) Aurat terbuka secara sengaja walaupun ditutup serta merta atau tidak sengaja tetapi tidak sempat menutupnya serta merta selama kadar tidak melebihi tempoh tumakninah atau tiga kali tasbih.
d) Dada terpesong daripada qiblat dalam keadaan sedar.
e) Orang yang bersembahyang menjadi gila, pengsan atau mabuk semasa melakukannya.
a) Mengubah niat dengan berazam untuk keluar daripada sembahyang atau menggantungkan tamat sembahyang dengan sesuatu perkara.
b) Syak pada niat, takbiratul ihram atau pada jenis sembahyang yang diniatkan.
c) Merasa ragu-ragu atau syak sama ada telah memutuskan sembahyang atau tidak.
d) Sesuatu rukun diputuskan dengan sengaja seperti melakukan i‘tidal sebelum sempurna ruku‘ secara tama’ninah.
e) Menambah mana-mana rukun dengan sengaja seperti menambah ruku‘ atau sujud.
f) Memanjangkan rukun yang pendek dengan sengaja.
5. Makan dan minum semasa sembahyang dengan banyak melebihi uruf.
6. Ketawa, berdehem, menangis, mengerang kesakitan yang dilakukan dengan sengaja hingga mengeluarkan bunyi yang jelas sekadar dua huruf sekalipun tidak difahami.
7. Murtad walaupun dalam bentuk gambaran kasar bukannya secara hukmi.
- KECIL : adalah yang tidak sampai tempoh pergerakan itu satu raka’at. BESAR: Jika melebihi, pastinya itu dikira besar dan membatalkan solat.
- KECIL : Setiap pergerakan yang tidak memerlukan dua belah tangan, seperti mengangkat serban, menyentuh untuk lantikan imam di hadapan, memegang kepala atau telinga, itu semua dianggap kecil. BESAR: Jika pergerakan itu memerlukan dua belah tangan seperti mengikat serban, memakai seluar atau kain, itu semua dikira besar.
- KECIL : pergerakan yang tidak membuat orang yang melihat bersangka si pelakunya di luar solat. BESAR : pergerakan yang menyebabkan orang melihat bersangka pelakunya di luar solat.
- KECIL : kembali kepada penentuan adat dan uruf setempat yang pada adatnya masyarakat anggapnya kecil. BESAR : juga berdasarkan adat. Imam An-Nawawi menyebut pandangan yang keempat ini yang paling sahih dan pandangan ulama Syafie yang teramai. Kata beliau
Perkara Yang Membatalkan Solat menurut mazhab Syafei
26 Comments Published by TasekPauh Blogspot on Sunday, July 08, 2007 at 10:24 PM.Perkara-perkara yang Membatalkan Wudhu'
- Apabila terkeluar sesuatu dari dua jalan sama ada melalui qubul atau dubur (hadas kecil)
- Tidur yang tidak tetap punggungnya, tetapi jika tidur dengan mengiring maka tidak batal wudhu'.
- Hilang akal dengan sebab mabuk atau sakit.
- Bersentuh kulit lelaki dengan perempuan yang bukan mahram tanpa alas atau lapik.
- Tersentuh kemaluan hadapan atau sekitar kawasan punggung lelaki, wanita atau dirinya sendiri tanpa alas. Tetapi jika tersentuh dengan belakang tapak tangan maka hukumnya tidak batal.
- Meninggalkan salah satu rukun solat
- Berhadas kecil atau besar
- Makan atau minum
- Terkena najis pada badan, pakaian dan tempat solat
- Melakukan pergerakan pada anggota yang besar tiga kali berturut-turut
- Berkata-kata
- Berpaling dada daripada arah kiblat
- Ketawa dengan mengeluarkan suara
- Terbuka aurat dengan sengaja
- Berubah niat
- Murtad
40 Perkara Yang Membatalkan Iman Menurut Al-Quran & Sunnah
Posted by nurul yaqin on Sunday, January 22, 2012
Hal-Hal Yang Membatalkan Haji, Hal-Hal Yang Diharamkan Di Kedua Kota Haram, Macam Dam Dalam Haji
Jumat, 1 Oktober 2004 07:34:10 WIB
Kategori : Alwajiz : Haji & UmrahHAL-HAL YANG MEMBATALKAN HAJI•
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Haji batal karena salah satu dari dua perkara berikut:
1. Berhubungan intim
Jika dilakukan sebelum melempar jumrah ‘Aqabah, apabila dilakukan setelah melempar jumrah ‘Aqabah dan sebelum thawaf Ifadhah hajinya tidak batal walaupun demikian ia berdosa.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hubungan intim tidak membatalkan haji karena tidak ada dalil yang jelas mengenai hal ini.
2. Meninggalkan salah satu rukun dari rukun-rukun haji
Apabila haji seseorang batal karena salah satu dari dua perkara ini, maka wajib baginya berhaji kembali tahun berikutnya apabila ia mampu, sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang makna mampu. Jika tidak, maka pada waktu ia mampu untuk ber-haji, karena kewajiban haji bersifat segera setelah ada kemampuan.
Hal-Hal yang Diharamkan Di Kedua Kota Haram (Makkah dan Madinah):•
Terdapat satu hadits dalam ash-Shahiihain dan kitab yang lainnya, dari ‘Ubbad bin Tamim dari pamannya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا ِلأَهْلِهَا، وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيْمُ مَكَّةَ.
“Sesungguhnya Ibrahim mengharamkan kota Makkah dan mendo’akan penghuninya, serta aku mengharamkan kota Madinah sebagaimana Ibrahim mengharamkan kota Makkah.”
Pengharaman dua kota suci ini adalah wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kedua Nabi dan Rasul-Nya, semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada keduanya. Jika disebut dua kota haram, maka keduanya adalah Makkah dan Madinah. Tidak boleh memutlakkan kata haram secara syar’i kecuali untuk kedua kota ini, tidak boleh memutlakkan kata haram secara syar’i untuk Masjid Aqsha, tidak juga untuk Masjid Ibrahim al-Khalil, karena wahyu tidak menamakan haram kecuali Makkah dan Madinah. Ini adalah penetapan hukum, akal manusia tidak mempunyai peran dalam hal ini.
Dalam dua kota haram ini diharamkan beberapa hal, apabila seseorang hidup di dalam kedua kota ini ia tidak boleh mengerjakan hal yang diharamkan tersebut atau orang yang datang berkunjung untuk menunaikan ibadah haji atau umrah atau untuk kepentingan lainnya.
Hal-hal yang dilarang itu sebagai berikut:
1. Memburu hewan dan burung, mengejarnya atau membantu untuk mengerjakan hal tersebut
2. Memotong pepohonan dan durinya kecuali sangat dibutuhkan dan dalam keadaan darurat
3. Membawa senjata
4. Memungut barang temuan di tanah haram Makkah bagi orang yang menunaikan ibadah haji. Adapun bagi orang yang bermukim di sana ia boleh mengambilnya, lalu mengumumkannya. Perbedaan antara orang yang berhaji dengan orang yang bermukim di sana jelas.
Aku berkata, “Adapun dalil dari hal-hal yang terlarang ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada hari penaklukan kota Makkah:
فَإِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيْهِ ِلأَحَدٍ قَبْلِي، وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلاَّ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لاَ يُعْضَدُ شَوْكُهُ، وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهُ، وَلاَ يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلاَّ مَنْ عَرَّفَهَا، وَلاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا، قَالَ الْعَبَّاسُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِلاَّ اْلإِذْخِرَ، فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوْتِهِمْ. فَقَالَ: إِلاَّ اْلإِذْخِرَ.
“Sesungguhnya kota ini adalah kota yang diharamkan Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Kota ini haram dengan keharaman dari Allah sampai hari Kiamat. Sesungguhnya tidak halal berperang dalam kota ini untuk seorang pun sebelumku, kota ini tidak dihalalkan bagiku kecuali sebentar, pada siang hari. Kota ini haram dengan keharaman dari Allah sampai hari Kiamat. Duri pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak boleh dipotong, binatang buruan yang ada di dalamnya tidak boleh dikejar, tidak boleh mengambil barang temuan kecuali untuk diumumkan dan tidak boleh memotong pepohonan.” ‘Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, kecuali tumbuhan idzkhir, sebab kami menggunakannya di kuburan dan di rumah kami.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kecuali tumbuhan izdkhir.” [1]
Dan dari Jabir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ ِلأَحَدِكُمْ أَنْ يَحْمِلَ بِمَكَّةَ السِّلاَحَ.
“Tidak halal bagi salah seorang di antara kalian membawa senjata di kota Makkah.” [2]
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda (yaitu tentang kota Madinah):
لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلا يُلْتَقَطُ لُقَطَتَهَا إِلاَّ لِمَنْ أَشَادَ بِهَا [أَنْشَادَهَا] وَلاَ يَصْلُحُ لِرَجُلٍ أَنْ يَحْمِلَ فِيْهَا السِّلاَحَ لِقِتَالٍ وَلاَ يَصْلُحُ أَن يُقْطَعَ مِنْهَا شَجَرَةٌ إِلاَّ أَنْ يَعْلِفَ رَجُلٌ بَعِيْرَهُ.
“Pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak boleh dipotong, binatang buruan yang ada di dalamnya tidak boleh di kejar, barang temuan tidak boleh diambil kecuali untuk diumumkan, tidak boleh bagi seseorang membawa senjata untuk berperang di dalamnya dan tidak boleh memotong pepohonan kecuali untuk memberi makan unta.” [3]
Syaikh Syaqrah berkata, “Barangsiapa yang mengerjakan salah satu dari larangan ini, maka ia telah berdosa, ia harus bertaubat dan beristighfar, kecuali hewan buruan bagi seseorang yang berihram, ia harus menyembelih hewan kurban sebagai denda dan tambahan bagi taubat serta istighfarnya.”
Denda Membunuh Hewan Buruan Di Kota Haram
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekua-saan untuk) menyiksa.” [Al-Maa-idah: 95]
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiirnya (II/98), “Ayat ini adalah pengharaman dari Allah Subhanahu wa Ta'ala membunuh hewan buruan ketika berihram dan larangan mengambilnya. Larangan ini menurut makna ayat mencakup hewan yang dapat dimakan, walaupun dilahirkan di situ atau dilahirkan dari tempat lain. Adapun hewan darat yang tidak bisa dimakan menurut madzhab Syafi’i boleh dibunuh oleh orang yang sedang berihram, sedangkan Jumhur ulama berpendapat tidak boleh dibunuh, tidak ada yang dikecualikan dari hewan-hewan tersebut kecuali hewan yang disebutkan pada hadits shahih dalam ash-Shahiihain dari jalan az-Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, Ummul Mukminin bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ وَالْحِدَأَةُ، وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ الْعَقُوْرُ.
"Ada lima binatang jahat yang boleh dibunuh baik di tanah halal maupun tanah haram : burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing galak.’”[4]
Ia (Ibnu Katsir) berkata, “Menurut pendapat jumhur orang yang sengaja atau tidak sengaja membunuh (hewan yang dilarang) sama-sama berkewajiban membayar denda.
Berkata az-Zuhri, ayat al-Qur-an menunjukkan kewajiban membayar denda bagi orang yang sengaja membunuh dan Sunnah mewajibkan denda bagi orang yang tidak sengaja. Makna perkataan ini, bahwa ayat al-Qur-an menunjukkan kewajiban membayar den-da bagi orang yang membunuh dengan sengaja dan orang tersebut berdosa, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ
“... Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksa-nya...” [Al-Maa-idah: 95]
Dalam Sunnah ada hukum dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari Sahabat beliau akan wajibnya denda bagi orang yang salah membunuh (tidak sengaja), sebagaimana halnya al-Qur-an menunjukkan kewajiban denda bagi orang yang sengaja membunuh. Tinjauan lain, orang yang membunuh buruan di tanah haram telah merusak, orang yang merusak harus mengganti, baik ia sengaja maupun tidak sengaja, namun orang yang sengaja, maka ia berdosa dan orang yang salah membunuh (tidak sengaja) tidak tercela.’”
Ia (Ibnu Katsir) berkata, “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ
"... Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksa-nya...” [Al-Maa-idah: 95]
Merupakan dalil bagi pendapat Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Jumhur ulama akan wajibnya denda dengan hewan semisal bagi orang yang berihram. Hal ini wajib apabila ia memiliki hewan peliharaan. Apabila tidak ada yang semisal dengan hewan buruan itu. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma telah menghukumi dengan mengganti harga hewan buruan tersebut kemudian dibawa ke Makkah. Diriwayat-kan oleh al-Baihaqi.”[5]
Beberapa Contoh Hukum Yang Diputuskan Oleh Nabi Dan Para Sahabat Beliau Dalam Penentuan Hewan Semisal
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dhab’u (hewan sejenis anjing hutan).” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هُوَ صَيْدٌ وَيُحْمَلُ فِيْهِ كَبْشٌ إِذَا صَادَهُ الْمُحْرِمُ.
“Ia termasuk hewan buruan, jika seorang yang berihram memburunya, dendanya adalah seekor kambing.” [6]
Dari Jabir bahwa ‘Umar bin al-Khaththab telah memutuskan seekor kambing sebagai denda untuk dhab’u, kambing betina untuk kijang, anak kambing betina untuk kelinci, anak kambing yang berumur empat bulan untuk yarbu’ (hewan sejenis tikus).”[7]
Dari Ibnu ‘Abbas, “Bahwa ia memutuskan denda bagi seseorang yang sedang berihram jika membunuh burung merpati di tanah haram adalah, seekor kambing bagi seekor burung.” [8]
Ibnu Katsir berkata (II/100), “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ
“Sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah.” [Al-Maa-idah: 95]
Maknanya adalah sampai ke Ka’bah. Maksudnya, hewan kurban itu sampai ke tanah haram dan disembelih di sana, lalu dagingnya dibagi untuk orang-orang miskin di tanah haram. Ini adalah cara yang disepakati.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا
“...Atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu...” [Al-Maa-idah: 95]
Maksudnya jika seorang yang berihram tidak memiliki hewan ternak yang semisal dengan hewan yang ia bunuh atau hewan buruan itu tidak termasuk hewan yang dapat dimisalkan dengan hewan lain atau kita katakan dia bebas memilih dalam permasa-lahan ini antara membayar denda atau memberi makan orang miskin atau berpuasa, karena jelasnya kata “yaitu” dalam ayat tersebut. Gambarannya, ia menyamakan harga hewan buruan yang terbu-nuh atau yang semisalnya, kemudian ia membeli makanan untuk disedekahkan, satu orang miskin diberi satu mudd. Apabila ia tidak menjumpai (makanan) atau kita katakan ia boleh memilih, ia boleh berpuasa dengan menghitung satu hari untuk satu orang miskin.”
Selesai dengan sedikit perubahan.
Denda Bagi Orang Yang Berhubungan Intim Pada Saat Menunaikan Ibadah Haji.
Barangsiapa yang berhubungan intim sebelum tahallul pertama, maka hajinya batal dan wajib baginya membayar denda satu ekor unta atau sapi. Apabila ia berhubungan intim setelah tahallul pertama sebelum tahallul kedua, wajib baginya membayar denda satu ekor kambing dan hajinya tidak batal.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma: “Beliau pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berhubungan intim dengan isterinya sedangkan ia berihram, ia sedang berada di Mina dan belum melakukan thawaf Ifadhah, maka beliau memerintahkannya agar menyem-belih satu ekor unta atau sapi.” [9]
Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhuma dari ayahnya bahwa seorang laki-laki mendatangi ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma menanyakan tentang seorang yang berhubungan intim dengan seorang wanita sedangkan dia berihram. Kemudian beliau menunjuk kepada ‘Abdullah bin ‘Umar dan berkata, “Pergilah ke orang itu dan bertanyalah kepadanya.” Laki-laki itu tidak mengenalnya (‘Abdullah bin ‘Umar), maka aku pun pergi dengannya. Laki-laki itu pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Umar menjawab, “Hajimu batal.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Sekarang apa yang harus aku lakukan?” “Pergilah bersama orang-orang dan kerjakan apa yang mereka kerjakan, apabila engkau menjumpai tahun depan, berhajilah dan berkurbanlah.” Laki-laki itu kembali lagi ke ‘Abdullah bin ‘Amr, menceritakan apa yang dikatakan Ibnu ‘Umar dan aku masih bersamanya. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata lagi kepadanya, “Pergilah ke Ibnu ‘Abbas dan tanyakan kepadanya.” Syu’aib berkata, “Aku pun pergi bersamanya ke Ibnu ‘Abbas lalu ia bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Abbas menjawab sebagaimana jawaban Ibnu ‘Umar. Laki-laki itu kembali lagi kepada ‘Abdullah bin ‘Amr, menceritakan apa yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dan aku masih tetap bersamanya. Kemudian laki-laki itu bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Apa pendapatmu?’ ‘Pendapatku seperti apa yang mereka katakan,’ jawab ‘Abdullah bin ‘Amr.” [10]
Dari Sa’id bin Jubair, ada seorang laki-laki berihram bersama isterinya untuk umrah, sang isteri telah menyelesaikan manasiknya kecuali memendekkan rambut. Sang suami mencampurinya sebelum ia memendekkan rambut. Kemudian sang suami bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang hal itu, Ibnu ‘Abbas berkata, “Besar sekali nafsu wanita itu.” Lalu dikatakan kepadanya, “Wanita itu mendengar.” Keduanya menjadi malu karena hal tersebut dan berkata, “Apakah engkau tidak mau memberitahu aku.” Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya, “Berkurbanlah.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apa?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Kurbankan unta atau sapi atau kambing.” Sang isteri bertanya, “Mana yang lebih baik?” “Unta,” jawab Ibnu ‘Abbas.[11]
Barangsiapa yang tidak mempunyai unta atau kambing hendaknya ia berpuasa tiga hari di waktu haji dan tujuh hari sekembalinya dari haji. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
“...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali...” [Al-Baqarah: 196]
Lebih afdhal baginya berpuasa sebelum hari ‘Arafah, jika tidak ia boleh berpuasa pada hari-hari Tasyrik, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, “Tidak ada keringanan untuk berpuasa pada hari Tasyrik kecuali bagi orang yang tidak mem-punyai sembelihan.” [12]
Peringatan:
Wanita dalam masalah ini sama dengan laki-laki, sama persis, kecuali jika ia dipaksa untuk berhubungan intim, maka ia tidak perlu berkurban dan hajinya sah berbeda dengan haji suami yang menggaulinya.[13]
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Ibnu ‘Abbas bertanya, ‘Aku telah menggauli isteriku sebelum aku menyempurnakan hajiku.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Apabila isterimu membantumu melakukan hal ini, maka setiap kalian harus menyembelih unta yang baik lagi gemuk. Apabila ia tidak membantumu, maka wajib bagimu menyembelih unta yang baik lagi gemuk.’” [14]
Macam-Macam Dam Dalam Haji:•
1. Dam haji Tamattu’ dan Qiran
Yaitu dam yang diwajibkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji atau bertalbiyah meniatkan umrah dan haji tamattu’ atau bertalbiyah meniatkan umrah dan haji qiran, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
مَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
"...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kem-bali...” [Al-Baqarah: 196]
2. Dam fidyah
Yaitu dam yang diwajibkan bagi seseorang yang menunaikan ibadah haji apabila ia mencukur rambutnya karena sakit atau sesuatu yg mengganggu, berdasarkan firman Allah Subahnahu wa Ta'ala :
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
“… Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban…” [Al-Baqarah: 196]
3. Dam tebusan
Yaitu dam yang diwajibkan bagi seseorang yang berihram apabila membunuh hewan buruan darat, adapun membunuh hewan buruan laut tidak mengapa (mengenai dam ini, telah dibahas).
4. Dam Ihshar
Yaitu dam yang dibayar karena ia tidak bisa menyempurnakan manasiknya karena sakit atau ditahan musuh atau yang lainnya dan ia tidak mensyaratkan apa-apa pada saat ia berihram, ber-dasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“... Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat...” [Al-Baqarah: 196]
5. Dam karena berhubungan intim
Yaitu dam yang diwajibkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji apabila ia berhubungan intim di tengah hajinya (hal ini telah dibahas).
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari, karya Syaikh Muhammad Syaqrah.
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari, karya Syaikh Muhammad Syaqrah.
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/46, no. 1834), Shahiih Muslim (II/986, no. 1353), Sunan an-Nasa-i (V/203).
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7645)], Shahiih Muslim (II/989, no. 1356).
[3].Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1790)], Sunan Abi Dawud (VI/20, no. 2018).
[4]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/34, no. 1829), Shahiih Muslim (II/856, no. 1198), Sunan at-Tirmidzi (II/166, no. 839).
[5]. Tafsiir al-Qur-aanil ‘Azhiim (II/99), dari ‘Ikrimah, ia berkata, “Marwan pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sedangkan kami pada saat itu berada di lembah Azraq, ‘Apa pendapatmu jika kami membunuh hewan buruan di tanah haram dan tidak ada hewan ternak yang dapat menggantikan he-wan itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Engkau perkirakan harganya dan bersedekahlah sebesar harga hewan itu kepada orang-orang miskin di Makkah.’”
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3226)], Sunan Abi Dawud (X/274, no. 3783).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1051)], Muwaththa’ Imam Malik (285/941), al-Baihaqi (V/183).
[8]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1056)], al-Baihaqi (V/205).
[9]. Shahih mauquf: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1044)], al-Baihaqi (V/171).
[10]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (IV/234], al-Baihaqi (V/167).
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (IV/233)], al-Baihaqi (V/172).
[12]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1042)], Shahiih al-Bukhari (IV/242, no.1997).
[13]. Irsyaadus Saari.
[14]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1044)], al-Baihaqi (V/168
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari dengan penambahan ayat.
10 PERKARA YANG MEMBATALKAN ISLAM
10 PERKARA YANG MEMBATALKAN ISLAM.Saudara muslim! Ketahuilah, bahawa terdapat beberapa perkara yang boleh membatalkan Islam seseorang. Antara yang paling banyak terjadi ialah sepuluh perkara. Maka hindarilah diri anda daripadanya.
Pertama:
Syirik iaitu mempersekutukan Allah dalam ibadat. Firman Allah swt:
{ إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ } (المائدة: 72)“Sesungguhnya sesiapa yang mempersekutukan Allah, nescaya Allah, mengharamkan Syurga baginya dan tempat tinggalnya (kelak) adalah neraka, dan tiada penolong bagi orang-orang yang zalim”. (Al-Maidah: 72)
Antara perbuatan syirik tersebut ialah: Meminta doa dan pertolongan dari orang-orang yang telah mati, bernazar dan menyembelih korban kepada mereka.
Kedua:
Menjadikan sesuatu sebagai perantara di antara dirinya dengan Allah, meminta doa dan syafaat serta berserah diri (tawakkal) kepada perantara itu. Orang yang melakukan perkara tersebut, menurut kesepakatan (ijma’) ulama’ adalah kafir.
Ketiga:
Tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu-ragu terhadap kekufuran mereka atau membenarkan fahaman mereka. Dengan melakukan demikian, ia telah kafir.
Keempat:
Berkeyakinan bahawa petunjuk yang lain daripada petunjuk Nabi saw adalah lebih sempurna atau berkeyakinan bahawa hukuman yang lain daripada hukuman Nabi saw lebih baik seperti mereka yang mengutamakan peraturan thaghut (peraturan manusia yang melampaui batas dan menyimpang dari hukum Allah) dan mengenepikan hukum Rasulullah saw. Maka orang yang berkeyakinan seperti itu adalah kafir.
Sebagai contoh:
a-Berkeyakinan bahawa peraturan atau perundangan yang dibuat oleh manusia lebih utama daripada Syariat Islam;
- atau perundangan Islam tidak sesuai dilaksanakan di abad kedua puluh satu.
· atau Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya sahaja dan bukan urusan kehidupan dunia.
b-Berpendapat bahawa melaksanakan hukum Allah swt dalam perkara hukum hudud seperti memotong tangan pencuri dan merejam penzina yang telah berkahwin (muhsan) tidak sesuai lagi pada masa kini.
c- Berkeyakinan bahawa dibolehkan untuk mengamalkan perundangan yang lain daripada syariat yang diturunkan oleh Allah swt samada dalam hukum mu’amalat (perdagangan) atau dalam melaksanakan hukum hudud (jenayah) atau lainnya sekalipun tidak disertai dengan keyakinan bahawa hukum-hukum tersebut lebih utama daripada Syariat Islam, kerana dengan sedemikian ia telah menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah menurut ijma’ ulama.
Setiap orang yang menghalalkan perkara yang sudah jelas dan tegas diharamkan oleh Allah swt dalam agama seperti zina, arak, riba dan melaksanakan perundangan yang lain dari syariat Islam adalah kafir menurut kesepakatan umat Islam (ijma’).
Kelima:
Membenci sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw sebagai syariat walaupun ia mengamalkannya. Dengan melakukan demikian, ia telah menjadi kafir, kerana firman Allah:
{ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ }“Demikian itu adalah kerana mereka benci terhadap sesuatu yang diturunkan oleh Allah, maka Allah menghapuskan (pahala) segala amal perbuatan mereka”. (Muhammad: 9)
Keenam:
Mempersendakan Allah swt atau kitab-Nya atau Rasulullah saw atau sesuatu daripada ajaran agama, maka ia telah menjadi kafir, kerana firman Allah swt:
{ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ، لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ } (التوبة: 65-66)“Katakanlah (wahai Muhammad): Adakah terhadap Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu sekelian memperolok-olok main? Tiada ertinya kamu meminta maaf kerana kamu telah kafir setelah beriman”. (At-Taubah: 65-66)
Ketujuh:
Sihir, di antaranya ilmu guna-guna (sarf), iaitu mengubah kecintaan seorang suami terhadap isterinya menjadi benci dan ilmu pengasih, iaitu menjadikan seseorang mencintai sesuatu yang tidak disenanginya dengan cara-cara syaitan. Mereka yang mengamalkan sihir atau rela dengannya adalah kafir kerana firman Allah swt:
{ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ } (البقرة: 102)“Sedangkan kedua-dua malaikat itu tidak mengajarkan (suatu sihir) kepada sesiapa pun sebelum mengatakan: sesungguhnya kami hanya cubaan bagimu, oleh itu janganlah kamu menjadi kafir”. (Al-Baqarah: 102)
Kelapan:
Membantu dan menolong orang musyrikin untuk memusuhi kaum muslimin kerana firman Allah swt:
{ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ } (المائدة: 51)“Dan barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka (Yahudi dan Nasrani) menjadi pemimpin, maka dia termasuk di dalam golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Al-Maidah: 51)
Kesembilan:
Berkeyakinan bahawa sesetengah individu diperbolehkan untuk tidak mengikuti syariat Muhammad saw. Orang yang berkeyakinan sedemikian adalah kafir kerana firman Allah swt:
{ وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ } (آل عمران: 85)“Dan sesiapa yang menghendaki selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima agama itu darinya, dan di akhirat ia tergolong di kalangan orang-orang yang rugi”. (Aali Imran: 85).
Kesepuluh:
Berpaling daripada agama Allah swt atau perkara-perkara yang menjadi syarat sah sebagai muslim tanpa mempelajarinya dan tanpa melaksanakan ajarannya. Firman Allah swt:
{ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآَيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ } (السجدة: 22)“Tiada yang lebih zalim daripada orang-orang yang telah mendapat peringatan melalui ayat-ayat Tuhannya kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya kami akan menimpakan balasan kepada orang-orang yang berdosa”. (As-Sajadah: 22)
Firman Allah swt:
{ وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ } (الأحقاف: 3)“Dan orang-orang yang kafir berpaling daripada perkara yang diperingatkan kepada mereka”. (Al-Ahqaf: 3).
Dalam perkara yang membatalkan Islam ini, hukumnya tidak berbeza sama ada secara bergurau atau bersungguh-sungguh, sengaja melakukannya atau takut, kecuali apabila diancam dan dipaksa.
Semoga Allah melindungi kita semua daripada melakukan perbuatan yang mendatangkan kemurkaan Allah swt dan seksaan yang sangat pedih.
Dari Buku: Panduan Untuk Jemaah Haji Dan Umrah Serta Pengunjung Masjid Rasul Saw.
20 Oktober 2011 – 22 Zulqa’dah 1432H.